KETIKA rilisan sudah tidak bisa lagi jadi sandaran
untuk sekadar menggantungan hidup band, maka berbisnis merchandise kemudian
jadi pilihan. Lantas orang pun berbondong-bondong memproduksi merchandise band,
sehingga bisnis ini tumbuh tak ubahnya cendawan di musim hujan. Fenomena
merchandise band mengingatkan kita pada booming distro/clothing beberapa tahun
silam.
Tanpa disertai survey yang serius pun kita sudah bisa
menyimpulkan bahwa saat ini memproduksi kaos band underground lebih menggiurkan
ketimbang membuat kaos distro. Lalu tengoklah pelosok kota kembang, toko-toko
yang khusus menjual merchandise band lokal sangat mudah dijumpai dijumpai di
mana-mana.
Salah? Tentu saja tidak. Bahkan bagus. Sebab, sebuah bisnis
pasti memiliki efek positif langsung terhadap kehidupan. Dan faktanya, bisnis
merchandise band lokal yang sekarang tengah marak ternyata mampu menggerakan
jentera ekonomi scene. Setidaknya ada ladang mencari uang. Teman kita yang
punya duit lebih, memilih jadi vendor. Dan mereka yang hanya punya tenaga, ikut
jadi pekerja pada teman yang punya duit. Belum lagi para desainer artwork yang
turut kecipratan rejeki. Singkatnya, bisnis merchandise sudah menyulut dapur
teman-teman kita tetap ngebul.
Namun, ketika bisnis merchandise sedang hangat-hangatnya,
permasalahan ternyata selalu saja ada. Yang paling banyak dikeluhkan adalah
mengenai harga merchandise band lokal yang mahal. Ukuran mahal memang relatif,
tapi di sini kita memang sedang memakai parameter lokal. Artinya, alat
pembanding yang kita pilih bukan produk sejenis dari mancanegara.
Contoh kasus, satu potong kaus distro sekarang rata-rata
dibandrol di angka Rp 90.000 — kecuali untuk satu-dua label yang kini sudah ada
yang mencapai harga Rp 150 ribu. Kalaupun ditarik level paling tinggi,
rata-rata harga kaos distro masih jarang yang dibandrol di atas seratus ribu
perak. Tapi, coba tengok harga kaos band metal. Di akhir 2011, harga sepotong
t-shirt metal masih dibandrol sekitar Rp 115.000. Memasuki pertengahan 2012,
harganya sudah berkisar Rp 120-125 ribu.
Mengenai harga kaos metal yang relatif mahal, teman kita
pemilik label Dark Castle, Iyonk, pernah mengalami kejadian lucu. Suatu kali,
toko Iyonk yang berada di Plaza Parahyangan didatangi seorang ibu berserta
anaknya. Sang anak merengek minta dibelikan t-shirt band death metal. Ketika
tahu bandrol kaos yang diinginkan anaknya, ibu tersebut kontan berujar: “Kenapa
harganya mahal gini? Padahal kaos di toko bawah harganya Rp 60.000?”
Dengan sabar Iyonk pun menjelaskan kenapa harga kaos yang
diinginkan anaknya bisa mencapai angka Rp 120.000. Setelah diberi penjelasan
tentang harga artwork, royalti buat band, dan lain-lain, sang ibu rupanya belum
juga ngeh dan lebih memilih menampik keinginan anaknya.
Iyonk mengaku dirinya bukan tidak mau menjual sepotong
t-shirt band lokal dengan harga lebih murah. Akan tetapi harga yang dipatok
memang sebuah keterpaksaan karena Iyonk harus memperhitungkan bermacam aspek
produksi, mulai dari membayar artwork, royalti buat band, bahan, sablon, sampai
perhitungan share untuk toko jika produk itu dititip-jualkan.
Yups, harga kaos band lokal memang relatif mahal karena
merchandiser harus menghitung beberapa aspek produksi. Di sini kita sedang
membicarakan sebuah merchandise yang diproduksi secara legal, dan bukannya
produk bajakan yang sekarang tidak kalah marak. Sebuah kaos tentu membutuhkan
artwork. Harga sebuah artwork sekarang berkisar Rp 500.000. Ini masih tergolong
murah, sebab artwork karya desainer tertentu bisa mencapai bandrol jutaan
rupiah.
Aspek produksi lainnya adalah royalti buat band. Dari
beberapa sumber, meski tidak jadi patokan absolut, royalti untuk sepotong kaos
sekarang berada di angka Rp 10-12 ribu. Dan biasanya royalti band harus dibayar
di depan.
Dari dua aspek produksi di atas, rasanya wajar jika
merchandiser mematok harga sepotong kaos band metal lokal di kisaran angka Rp
120.000. Jika dilihat sekilas dengan memperbandingan dengan produk kaos distro,
jelas angka yang relatif mahal. Tapi, harga segitu akan terasa wajar jika kita
mengerti latar belakangnya.
Seperti ungkapan Ray dari Horrorjoke Merch, “Kahayang mah
saya ge ngajual kaos lima puluh rebu. Tapi da kumaha deui, ongkos produksi
memang maksa urang matok bandrol sakitu.”
Sekarang semuanya balik kepada kita sebagai konsumen. Apakah
mau memilih produk legal yang harganya sedikit rada nyiwit tapi dijamin halal.
Atau memilih produk bajakan yang harganya jauh lebih murah. Woleskeun, beray!
COPYROGHT FROM :
http://www.bandung-underground.com/scene/kenapa-merchandise-band-lokal-mahal.html