Tidak dapat dipungkiri memang, musik underground dan
aksi moshing di dalamnya identik dengan kekerasan dan kebrutalan,
tapi tidak dapat dipungkiri juga bahwasannya hal tersebut merupakan sebuah seni
dalam ber-ekspresi. Setiap manusia mempunyai kebebasan dalam mengekspresikan
dirinya, termasuk memilih musik apa yang akan dimainkan dan didengar.
Tingginya apresiasi masyarakat Bandung dalam mengartikan
musik underground sebagai musik-musik beraliran keras membuat kota Bandung
masuk jajaran lima besar komunitas underground terbesar dalam skala
internasional setelah Amerika, Jerman, Inggris dan Belanda. Namun hal itu
tampaknya kini hanya tinggal sebuah penggalan sejarah di masa lalu.
Musik underground berkabung di kota Bandung pasca
insiden yang merenggut 10 nyawa dalam salah satu konser band underground pada
tahun 2008 yang lalu. Bandung is the city of underground,sontak berubah
menjadi Bandung is the city of “silent underground”.
Tidak mudahnya mendapatkan izin menggelar konser musik
underground bagi para musisi-musisi underground dari pemerintah kota Bandung
pasca tragedi tersebut dalam perkembangannya membuat musik underground di kota
Bandung seakan-akan benar-benar mati. Jarang terdengar lagi teriakan-teriakan
dari sudut-sudut kota yang berisikan sejuta pesan tentang kehidupan dan kritik
sosial, jarang terdengar lagi tarian-tarian moshing yang dapat
mengeksperisikan kebebasan dalam berseni dan mengungkapkan apa yang tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata.
Sebuah gelaran konser tunggal oleh salah satu band rock
besar yang mengawali karir musiknya melalui dunia musik underground di kota
Bandung, KOIL, pada 24 Februari 2011 di Sabuga ITB Bandung tahun
lalu, diharapkan dapat menjadi pemicu bangkitnya band-band underground lainnya
yang sudah lama “bungkam” akibat kondisi dan situasi yang memaksa mereka untuk
berteriak dalam kesunyian.
Semoga suatu saat musik underground di kota Bandung dapat
benar-benar kembali bangkit dan berteriak kembali.